Belakangan, tatanan hidup dari kehidupan di dunia ini mulai berubah. Yang semulanya kita selalu berpegang pada asas kebersamaan dan gotong royong. Kini, sebagian besar lebih asyik dengan dirinya sendiri.
Apatis yang menurut KBBI, edisi III, 2005 memiliki acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh. Padahal menurut Wittgenstein, dunia adalah sebagai suatu realitas sebagaimana yang kita lihat dan alami. Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukannya totalitas dari benda-benda.
Dunia itu bukanlah terdiri atas benda-benda yang hanya merupakan penjumlahan atau benda-benda itu bukanlah bahan dunia melainkan objek-objeklah yang merupakan substansi dunia.
Yang dimaksud dengan fakta, menurut Wittgenstein sebagai suatu keberadaan peristiwa (state of affairs), bagaimana objek-objek itu terhubungkan satu dan lainnya (Poerwowidagdo, 1972:10)
Bertelekan dengan hal yang tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan betapa sikap tersebut merupakan pengejawantahan dari ego (aku) --- menurut Audifax (2010:217), setelah Auschwitz, filsafat memang dilanda kegoncangan.
Filsafat modern yang yang sejak Descartes tampak optimistis melihat dunia, mulai diterpa pesimisme. Dasar-dasar rasionalisme yang dibangun oleh Descartes dan belakangan diafirmasi oleh Hegel, mulai goyah.
Sebagai contoh, kebuasan Nazi yang sama sekali tidak rasional dan “primitif” memunculkan keraguan terhadap nasionalitas manusia modern. Dan yang mengganggu Levinas setelah Auschwitz adalah tentang nasib dan perbedaan.
Menurutnya, sejak dulu sampai sekarang, seluruh filsafat barat selalu bertolak dari ego dan pemuasan ego tanpa mempertimbangkan keunikan dari yang beda. Tak dapat kita pungkiri, dengan berpegang pada semangat 28 oktober 1928, maka Indonesia tergolong sebagai bangsa yang paling beruntung.
Betapa tidak, para pendahulu dengan jelas dan tegas tetap mengakui adanya perbedaan. Dan hal ini tertuang dengan jelas pada kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki arti walau berbeda-beda tetapi satu --- untuk kejayaan dan kebesaran pertiwi tercinta.
Kini semuanya terpulang kepada kita selaku komponen bangsa, apakah sikap apatis itu perlu dilestarikan atau malah dibuang sama sekali karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia ?
Apatis yang menurut KBBI, edisi III, 2005 memiliki acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh. Padahal menurut Wittgenstein, dunia adalah sebagai suatu realitas sebagaimana yang kita lihat dan alami. Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukannya totalitas dari benda-benda.
Dunia itu bukanlah terdiri atas benda-benda yang hanya merupakan penjumlahan atau benda-benda itu bukanlah bahan dunia melainkan objek-objeklah yang merupakan substansi dunia.
Yang dimaksud dengan fakta, menurut Wittgenstein sebagai suatu keberadaan peristiwa (state of affairs), bagaimana objek-objek itu terhubungkan satu dan lainnya (Poerwowidagdo, 1972:10)
Bertelekan dengan hal yang tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan betapa sikap tersebut merupakan pengejawantahan dari ego (aku) --- menurut Audifax (2010:217), setelah Auschwitz, filsafat memang dilanda kegoncangan.
Filsafat modern yang yang sejak Descartes tampak optimistis melihat dunia, mulai diterpa pesimisme. Dasar-dasar rasionalisme yang dibangun oleh Descartes dan belakangan diafirmasi oleh Hegel, mulai goyah.
Sebagai contoh, kebuasan Nazi yang sama sekali tidak rasional dan “primitif” memunculkan keraguan terhadap nasionalitas manusia modern. Dan yang mengganggu Levinas setelah Auschwitz adalah tentang nasib dan perbedaan.
Menurutnya, sejak dulu sampai sekarang, seluruh filsafat barat selalu bertolak dari ego dan pemuasan ego tanpa mempertimbangkan keunikan dari yang beda. Tak dapat kita pungkiri, dengan berpegang pada semangat 28 oktober 1928, maka Indonesia tergolong sebagai bangsa yang paling beruntung.
Betapa tidak, para pendahulu dengan jelas dan tegas tetap mengakui adanya perbedaan. Dan hal ini tertuang dengan jelas pada kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki arti walau berbeda-beda tetapi satu --- untuk kejayaan dan kebesaran pertiwi tercinta.
Kini semuanya terpulang kepada kita selaku komponen bangsa, apakah sikap apatis itu perlu dilestarikan atau malah dibuang sama sekali karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia ?
0 Komentar "Apatis", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment