Renungan Idul Fitri

Bersama : H. Sugeng Pramono

Tak terasa, beberapa saat lagi kita akan tiba dihari nan fitri, hari dimana kita harus bergembira didalamnya, sebab kita telah merengkuh kemenangan melawan segenap godaan dan dorongan hawa nafsu yang bersemayam didiri kita.

Yang terpenting dihari nan fitri itu adalah ketulusan, sebab adalah bahasa kalbu yang sudah semestinya terbenam dalam fitrah kita sebagai manusia. Ketulusan adalah bahasa universal yang dapat menembus batas gender, usia, suku dan wilayah. Ketulusan adalah bahasa yang bisa dimengerti orang awam, dipahami cerdik cendekia, didengar si tuna rungu, dilihat sang tuna netra dan dirasakan setiap jiwa. Ketulusan adalah hiasan yang teramat indah.

Sayang seribu kali sayang. Betapa kita sering membuang serta mengabaikan ketulusan itu seperti tak ubahnya kita mencampakkan sepatu usang yang sudah tidak terpakai lagi.

Ditengah semarak Idul Fitri tahun ini, marilah kita bingkai potret ketulusan itu dalam pigura yang terindah. Tak peduli dengan jatuhnya gengsi, permintaan maaf harus kita haturkan bila memang kita bersalah, tanpa perlu berbelit-belit membuat argumentasi pembenaran perilaku diri. Tak peduli pula apapun sikap orang lain. Apakah mereka minta maaf atau tidak, namun pemberian maaf seharusnya kita curahkan kepada siapapun.

jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A'raf 7 : 199)

Idul Fitri pada hakekatnya adalah sebuah rangkaian peristiwa dan waktu dalam perjalanan kita menuju Allah. Adakah kita hendak mengisi perjalanan tersebut dengan permainan-permainan yang tidak diridhai Allah ?

Jadikanlah Idul Fitri sebagai sebuah moment bagi setiap kita untuk meningkatkan amal ibadah, bukan malah bersantai-santai dengan dalih menikmati masa istirahat setelah berbagai aktivitas ibadah dibulan ramadhan yang melelahkan.

Ramadhan tiba pada detik-detik terakhirnya. Bagi mereka yang khusuk dalam shaum dan qiyamul lail-nya pasti akan merasakan sedih, mengingat ramadhan yang akan pergi. Diatas sajadah masjid tempat iktikaf, mereka akan banyak menangis, mengenang detik-detik yang seakan terlalu cepat berlalu, dalam bulan suci nan syahdu yang datangnya cuma setahun sekali ini. Makin berat dada mereka.

Karena itulah jika kita renungi, Idul Fitri pada hakikatnya disediakan Allah untuk mereka yang rindu bertemu dengan Ramadhan berikutnya. Rindu bertemu Ramadhan berarti rindu berjumpa Allah, karena pada hakikatnya pula ibadah-ibadah yang disunahkan pada syahrur-ramadhan itu tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ya, Idul Fitri tidak diadakan untuk mereka yang lalai beribadah, sebagaimana bunyi puisi arab : "Laysalied liman labisal jadidi, walakinnalied liman amaluhu tazid." Yang artinya : hari raya diadakan bukan untuk orang yang berpakaian baru, ia diadakan untuk orang yang sentiasa bertambah amal salehnya.

Kita memang sering melihat kenyataan yang ironis, justru mereka yang kerap melalaikan shaum, mangkir tarawih dan malas bertadarus-lah yang berhuru-hara, seolah merayakan kemenangan dihari lebaran nanti.

Bila Lebaran diadakan untuk mereka yang rindu berjumpa dengan Allah, tentu perayaannya dilakukan secara khusyuk, penuh kerendahan hati. Jika ada saatnya menikmati hidangan istimewa atau gelak tawa dikala silaturrahmi, itupun semata-mata hanya sebuah momen untuk menambah ungkapan syukur atas limpahan berkah dan rahmatNya yang sungguh tak terkira.

Akhirul kalam, selamat merayakan hari kemenangan. Semoga kita suka merayakannya dengan khusyuk, dengan fitri, dengan penuh kerendahan hati. Tak pantas kita berfoya-foya ditengah jumlah rakyat miskin yang kian bertambah. Tak layak lagi kita berlebih-lebihan, ketika sepiring ketupat sudah menjadi makanan mewah buat sebagian kaum papa.

Semoga renungan singkat ini bermanfaat dan dapat menambah ketakwaan kita kepada Allah SWT. Sekali lagi, Mohon Maaf apabila ada kesalahan.

0 Komentar "Renungan Idul Fitri", Baca atau Masukkan Komentar

Followers