Renungan Tentang Kematian

Bersama : H. Sugeng Pramono

Ada banyak cerita tragis tentang kematian yang terjadi di tengah hari-hari kita belakangan ini. Ada satu keluarga yang tewas terpanggang api, ada masinis kereta api yang tewas tergenjet kereta yang dikemudikannya, atau ada juga bocah yang meninggal ditangan ayahnya sendiri.

Masih banyak lagi cerita berurai air mata itu, termasuk kisah tentang kematian Mbah Surip yang tak disangka dan dinyanya. Siapa menduga kalau musisi eksentrik itu harus begitu cepat menghadap Sang Pemilik kehidupan? Dendang suaranya yang jenaka serasa masih begitu lekat digendang telinga kita. Tetapi, kini Mbah Surip telah tiada. Tubuhnya berkalang tanah kuburan.

Memang, kematian, siapapun yang mati itu, selalu mendatangkan duka dan air mata. Namaun sesungguhnya yang penting bagi kita yang hidup adalah senantiasabercermin dari kematian itu sendiri. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian sesungguhnya memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan kita agar tak lari menyimpang dari relnya. Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menentramkan hati kita. Diantaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.

Tak seorangpun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya didunia ini akan berakhir. Sebagaimana, tak seorangpun jua yang tahu diamana kematian akan akan menjemput dirinya.


Jangan pernah kita malalaikan nilai waktu yang serasa begitu berharga ketika kematian datang menjemput. Sang waktulah yang pada hakekatnya senantiasa menggiring kita kejurang kebinasaan. Karena tak ada satu detikpun waktu terlewat melainkan ajal yang kian mendekat.

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah didepan mata, maka mungkin saja kita baru menyesalinya. Tiba-tiba, lisan kitapun tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan waktu itu untuk bertobat dan mengejar ketinggalan.”

Tapi sayang, permohonan tinggalah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tampa ada perundingan. Tak bisa dihentikan dengan tumpukan uang, atau dengan jabatan setinggi apapun.

Marilah sama-sama kita renungkan : kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apapun dan siapapun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan itu. Semua kembali kepada peran sebenarnya, yakni sebagai makhluk yang harus kembali kepada Sang Maha Pemilik Segalanya.

Kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri kita sebagai kita meraih keberhasilan? Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan? Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga. Tubuhn kita yang telah menjadi mayat!

Memang, kejayaan dan kesuksesan terkadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa dia akan hidup selamanya. Hingga kapanpun. Seolah dia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satupun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini. Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah dia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian.

Hidup tak jauh dari siklus : awal, berkembang, dan kemudian berakhir. Dengan mengingat kematian , maka kita akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, suatu saat bila si peminjam ladang akanmengambilnya, maka dia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

Rasulullah SAW bersabda: “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmizi)

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetikpun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.

Kelahiran dan kematian adalah satu hal yang tak terpisahkan. Kita tidak bisa mendapatkan yang satu tampa yang lainnya. Bila tidak ada kelahiran, maka tidak akan ada kematian. Pertanyaannya adalah, “Sudah siapkah kita ketika kematian datang menjemput?”

Semoga renungan singkat ini bermanfaat...!

1 Komentar "Renungan Tentang Kematian", Baca atau Masukkan Komentar

Seni Seviyorum said...

yea...
there are so many jurney to reach the lord of this world, Allah SWT
it doesn't metter how we die, but it's important how we pass our way to God.
actually,life is a simple procces,just like a sentence in a book which ever I read,,
"hidup itu terlahir...menderita...& MATI !!"
die is a deadend,,we can't avoid it
so selagi kita2 msh HIDUP,,mainkanlah peran kita sebaik2nya.
Semoga kita termasuk orang2 yg dirindukan Surga Allah SWT...Amien !

Followers