Kita Harusnya Lebih Bersyukur

Sebenarnya ini adalah pelajaran yang kuniatkan untuk kusampaikan pada istriku, namun qadarullah selalu lupa, mungkin lebih baik kalau kutuliskan saja, kali aja ada yang mengambil manfaat dari tulisanku ini.

Kemarin, sewaktu aku pulang dari tempat kerja, dengan menggunakan sepeda bututku, aku menjumpai seseorang, orang ini sangat menarik perhatianku, karena terlihat berbeda dengan orang-orang lainnya di jalan.

Seorang Bapak (mungkin berumur sekitar 40-45 tahun), menaiki sepeda tua yang tak kalah bututnya dari sepedaku, namun pakaiannya (dari belakang) compang-camping, bekas sobek-ditambal-dijahit, bahkan di sebagian tempat sepertinya tidak mungkin untuk dijahit lagi. Topi yang dikenakan pun lusuh dan warnanya sudah sangat memudar. Sebuah sandal dikenakannya, dan sepertinya sandal itu juga hampir rusak. Celananya diatas mata kaki (sunnah Nabi?), bukan, celana itu diatas mata kaki karena kekecilan, lusuh, dan di bagian celana sekitar pantat juga terdapat bekas tambal-sulam yang cukup jelas dilihat. Tapi tunggu, orang ini bukan gelandangan, pengemis, atau orang gila!

Ya, dengan keadaannya yang sedemikian itu, tapi Bapak itu terlihat rapi. Rapi dalam pengertianku disini, walaupun pakain dan atribut yg dia kenakan itu sudah "tidak layak pakai", tapi si Bapak terlihat bersih, dugaanku, dia sedang menuju pergi ke tempat kerja, entah pekerjaannya apa, tukang parkir, petugas kebersihan jalanan, atau apalah, i don't know.

Lama kupandang Bapak itu dari belakang, kukayuh sepedaku perlahan-lahan. Kulihat diriku sendiri, dengan keadaan yang masih jauuuh lebih baik. Sepatu sandal, kopyah, pakaian bagus, dan sebuah laptop di punggung. Masya Allah, jujur, aku menyesali diriku sendiri yang kerapkali menggerutu, merengek-rengek tidak bersyukur atas apa yang kupunya.

Jantungku waktu itu berdebar, menyaksikan apa yang dihadapanku dan kelakuanku karena kurang bersyukur. Alhamdulillah, sebuah pelajaran berharga, dengan "nasehat bisu" si Bapak yang menyadarkan aku, betapa aku ini sangat beruntung. Kukayuh sepedaku lebih cepat, dan tepat di pemberhentian lampu merah, aku ada disebelah Bapak itu, kulihat wajahnya, dan sekali lagi aku takjub. Wajah itu seolah-olah menjawab tatapanku seraya berkata, "I have no pain in my life". Sebuah wajah yang tulus, bersih, dan syukur (menurutku). Subhanallah... :(

Malulah diriku, yang selama ini kurang mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Merasa kurang atas rizky pemberian Allah. Merasa rizky tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hampir saja aku ini tergolong manusia yang kufur nikmat, na'udzubillahi min dzalik.

"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang (murtad). Rugilah ia di dunia dan akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (Al-Hajj: 11)"

Istriku, jadilah engkau orang yang bersyukur, atas semua karunia yang telah Allah karuniakan kepada kita.
” .. dan orang yang mengenali nikmat, mengenali Sang Pemberi nikmat itu, dan mengakuinya, ia tunduk kepada-Nya dan mencintai-Nya serta ridha kepada-Nya dan menggunakan kenikmatan itu dalam perkara yang Ia cintai dan ketaatan maka orang yang seperti inilah orang yang mensyukuri nikmat.” (Ibnul Qayyim)
Source : http://the.monsterous.org/2011/07/kita-harusnya-lebih-bersyukur.html

0 Komentar "Kita Harusnya Lebih Bersyukur", Baca atau Masukkan Komentar

Followers